Rabu, 11 Februari 2009

Mengurai Problematika Pertanian, Menemukan Kunci Kemakmuran Bangsa

Catatan Akhir Tahun Pertanian Indonesia


Semaju dan sehebat apapun sebuah negara, pasti menyelesaikan terlebih dahulu urusan pangan. Tak terkecuali Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Cina dan Rusia. Tanpa bisa memberi makan rakyatnya segala industri dan teknologi tinggi tidak akan ada artinya. Salah satu fondasi dan pilar utama pangan adalah pertanian, dimana negara-negara maju tersebut di atas mempunyai fondasi yang sangat kuat di bidang pertanian. Kemudian bagaimana pertanian Indonesia, khususnya Jawa Tengah? Tulisan ini akan memberikan gambaran problema dan formula solusi keterpurukan pertanian Indonesia, yang seringkali luput dari mata presiden, menteri, para pemimpin daerah, dan departemen serta dinas-dinas terkait dalam pertanian. Padahal sebagai negara tropis, peluang bidang pertanian sangat luar biasa, termasuk sebagai senjata utama untuk mengalahkan kemiskinan untuk memakmurkan bangsa. Bagaima bisa? Berikut solusi permaparan kami, yang hanya bisa dilaksanakan oleh Negarawan bukan politisi.


Oleh: Pratomo, SP *)




Memerangi kemiskinan bukan pekerjaan mudah, tapi wajib dilakukan oleh semua pemimpin bangsa di seluruh muka bumi ini. Kunci kemenangan melawan kemiskinan ada pada kecerdasan visi para pemimpin dan kemauan serta langkah nyata untuk mencapai tujuan tersebut. Sama sekali bukan retorika para politisi hedonis untuk merayu rakyat agar memilihnya, seperti –akan memberi kredit mikro, akan melatih wirausaha, akan memberi sekolah gratis, akan mensubsidi ini itu dst.. dst.., bukan juga wacana dan teori para cendekiawan dan akademisi yang kakinya tidak pernah menyentuh tanah.
Pertama kali yang harus kita lakukan untuk memakmurkan rakyat adalah merubah main-set pemikiran pemerintah Indonesia yang selama ini –disadari atau tidak– adalah upaya melestarikan kemiskinan, dengan selalu memposisikan bahwa rakyat itu selalu miskin dan pemerintah adalah bos besar (sinterklas), sehingga oleh bos besar rakyat perlu diberi askeskin (asuransi kesehatan rakyat miskin), raskin (beras miskin), BLT dan bantuan serta subsidi lainnya, kemudian rakyatnya sendiri masih tega dilabeli: gakin (keluarga miskin). Main-set bahwa rakyat itu miskin harus diubah menjadi: RAKYAT INDONESIA HARUS KAYA. Lihat Foto: 1
Mengapa senjata utama memerangi adalah pertanian? Pertama, riil sebagian besar permasalahan kemiskinan, –anak-anak desa putus sekolah, ibu hamil & anak balitanya meninggal kelaparan di Makasar; kelaparan massal di Yokuhimo, Papua; KLB busung lapar di Rote Ndao, NTT; Di Serang rakyat makan nasi aking. Semua bersinggungan langsung dengan Pertanian. Runtuhnya Pertanian Indonesia meng¬akibatkan rakyat tak tercukupi kebutuhan pangan dan gizinya. Malu rasanya dengan Republik Rakyat China yang mampu memberi makan dan kemakmuran bagi 1,35 milyar rakyatnya, padahal dengan iklim 4 musim, kesempatan bertani tidak ada di musim gugur dan musim dingin. Malu dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam, negara-negara dengan sumber daya alam terbatas –sebagian lebih muda dalam kemerdekaannya– mampu surplus pangan dan memakmurkan rakyatnya dengan pertanian.
Kedua, kemandirian politik semua bangsa di dunia dimulai dengan kemandirian pangan 1). Amerika, Jepang, China, Uni Eropa tidak membiarkan dirinya tergantung dengan negara manapun dalam hal pangan, pemerintahnya melakukan berbagai kebijakan dalam kerangka program dukungan domestik pertanian untuk mendorong petani memproduksi pangan, menyimpan stok dan memberikan insentif ekspor. Hal tersebut di atas sudah disadari pemerintah negara-negara Asia, kecuali Indonesia.
Ketiga, mari kita inventarisir primary product, yang paling mungkin dijadikan “panglima” untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Singapura, negara dengan dengan SDM & SDA sangat terbatas memilih primary product: menjadi yang terunggul dalam pendidikan serta pelayanan kesehatan, pilihan ini sangat tepat dengan posisinya tepat di jantung ASEAN menjadi pilihan warga ASEAN untuk sekolah dan berobat. Kalau kualitas teknologinya sama buat apa sekolah atau berobat ke Amerika/Eropa? Jepang memilih primary product berbasis teknologi otomotif, mesin produksi dan elekronika, Jerman memilih otomotif dan permesinan, New Zealand memilih susu & produk olahannya.
Sekarang apa primary product kita yang bisa dijadikan “panglima”? Kita punya pertambangan: minyak bumi, gas, logam mulia dan hasil tambang lainnya, tapi semua sudah habis dibagi-bagi untuk kapitalis asing, sisanya yang dikelola BUMN tak dapat mencukupi kebutuhan rakyat, pertambangan tak bisa jadi panglima, kecuali Presiden RI berani menasionalisasi semua pertambangan asing, seperti Presiden Evo Morales.
Kita punya kekayaan hutan tropis yang melimpah & bisa menjadi potensi utama untuk menyejahterakan rakyat, apabila dikelola dengan bijaksana. Kenyataannya kekayaan hutan hanya dimanfaatkan untuk memperkaya sekelompok orang saja. Maraknya illegal logging dan pem-babatan hutan besar-besaran untuk perkebunan sawit memusnahkan hasil hutan yang seharusnya dikelola negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya secara bijaksana untuk kemakmuran rakyat. Kehutanan tak bisa jadi panglima, karena potensinya sudah jatuh ke tangan para trilyuner dunia baru dari Indonesia, yaitu: pemilik perusahaan-perusahaan kayu dan minyak kelapa sawit (CPO).
Kita punya kekayaan laut, salah satu terbesar di dunia. Tapi lagi-lagi sumber daya kelautan Indonesia telah dikuras kapal-kapal asing –illegal fishing– yang dengan bebas keluar masuk dengan kapal penangkap ikan canggih: berkecepatan tinggi, dilengkapi radar, GPS, sonar pencari ikan tiga dimensi dan bersenjata lengkap. Hingga terlepas dari kongkalikong dengan aparat lokal, kapal TNI-AL pun kesulitan menangkap mereka karena kalah canggih. Nelayan yang menjadi ring pertama untuk disejahterakan pun tidak bisa diberdayakan dengan cepat karena kendala mahalnya teknologi, medan, spesifikasi produk –bukan pangan pokok– serta rendahnya kualitas hidup nelayan yang semakin terhimpit oleh kenaikan BBM. Bicara BBM, kembali main-set pemerintah harus diubah dari bagaimana cara mensubsidi bagi rakyatnya menjadi bagaimana cara memakmurkan rakyat. BBM di seluruh dunia naik jauh lebih tinggi dari Indonesia, tapi mengapa mereka tetap bisa men¬jalankan usaha? Sebab mereka jauh lebih makmur dari kita. Tapi hati-hati me¬nyampaikan pemikiran ini pada publik yang sudah terlanjur salah kaprah dalam menyikapi subsidi, hal ini rawan diplintir media dan lawan politik. Mengingat populasi nelayan & potensi kekuatan kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Kelautan menjadi prioritas utama kedua.

Pilihan panglima untuk memakmurkan rakyat tinggal satu, yaitu: Pertanian. Angka kemiskinan menurut Bank Dunia adalah penduduk usia kerja dengan pendapatan di bawah US$2,-/hari adalah 49% dari populasi penduduk Indonesia atau + 103 juta orang. Menurut BPS kategori miskin adalah yang berpendapatan di bawah US$ 1,50/hari) 19% + 40 juta orang. Logika kita –setelah kenaikan BBM– definisi Bank Dunia lebih masuk akal karena US$2,- tersebut adalah Rp 18.500,- lebih rendah dari UMR Jawa Tengah s/d Nopember 2008 Rp 715.000,- per bulan atau Rp 23.833,- per hari. Dari sekitar 103 juta orang miskin tersebut sekitar 70% adalah petani yang tinggal di pedesaan.
Tantangan menyejahterakan petani akan menjadi peluang terbesar mengalahkan kemiskinan di Indonesia, karena: (1).Populasi petani dan keluarganya merupakan populasi terbesar. (2).Dengan membangun dan memak¬murkan desa –infrastruktur, suprastruktur, diklat dan sarana produksi, akan memberikan efek De-urbanisasi, dimana orang-orang dari kota akan mengalir ke desa dengan adanya peluang kerja di desa. Ini berarti kota lebih mudah diatur, tidak macet, tidak sumpek, kriminalitas menurun, permintaan barang-barang kebutuhan –baik pokok, sekunder maupun tersier– dari desa ke kota semakin banyak, ini berarti roda perekonomian desa dan kota berputar dengan cepat. Deso dadi rejo, Kutho tambah mulyo (Desa jadi makmur, kota bertambah mulia/sejahtera). (3) Membangun desa berarti: Mengentaskan KEMISKINAN, Mengurangi PENGANGGURAN, Melestarikan LINGKUNGAN, Memanfaatkan LAHAN TERLANTAR, Mengembalikan HARGA DIRI PETANI ! 2)

Membangun Desa beserta pertanian, sama sekali bukan pekerjaan mudah. Gambaran kondisi pertanian kita saat ini adalah: (1) Tidak ada penelitian yang memadai sehingga tidak ada bibit unggul, (2) Tidak memadainya sarana prasarana irigasi, menyebabkan jika hujan banjir, jika kemarau kekeringan, (3) Tidak ada pembelajaran, sehingga petani buta teknologi. Ketiga hal tersebut menye¬bab¬kan: Jutaan hektar tanah terlantar, petani dibiarkan berjuang sendiri akhirnya pertanian Indonesia hancur lebur dan negara tergantung dengan barang import. Untuk mengurai masalah tersebut mari kita telaah lebih mendalam. Ada tiga kelompok besar Petani Indonesia, yaitu:
1. Petani Komoditi Pangan. (Beras, jagung, kedelai, dan sebagainya). Petani golongan ini tidak pernah bisa bersaing dengan produk impor, karena orientasi pemerintah saat ini adalah konsumen membeli produk pangan dengan harga murah, dimana action pemerintah ketika harga pangan tinggi, adalah melakukan import dan operasi pasar dengan harga murah. Pertandanya adalah apabila Menteri Perdagangan dan Perindustrian sudah blusukan (keluar-masuk) pasar, maka Petani Komoditas Pangan bersiap-siap menurun kesejahteraannya, karena hasil produksinya akan bernilai murah akibat operasi pasar dan import. Celakanya lagi pemerintah malah menurunkan bea masuk impor ketika beras dan kedelai mahal, ini artinya pemerintah mensubsidi petani beras Vietnam dan petani kedelai Amerika! Apakah ada kata yang lebih pas selain “tidak pintar” dan “tidak waras” untuk pemerintah? Sebenarnya impor komoditas pangan –beras, kedelai, jagung– adalah kejahatan terhadap seluruh rakyat Indonesia, karena dibeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya dengan menggunakan uang negara, dimana keputusan import atau tidak import lebih ditentukan dari besarnya uang insentif per kilogram beras/kedelai yang diterima oleh orang-orang semacam Widjanarko Puspoyo –mantan Kabulog yang korupsi. Khususnya petani Indonesia dirugikan dobel karena berasnya selalu terbeli di bawah biaya produksi, artinya dengan keringatnya, petani Indonesia mensubsidi setiap nasi yang kita makan.
Solusinya: Pemerintah harus menetapkan berbagai upaya kebijakan dalam kerangka program dukungan domestik pertanian untuk mendorong petani memproduksi pangan, menyimpan stok dan menutup kran impor. Aplikasinya antara lain: mengaktifkan kembali KUD, penyuluh dan lumbung, membangun infrastruktur, sarana irigasi dan waduk-waduk. Sistem selengkapnya bisa mencontoh dan menyempurnakan kebijakan pertanian Presiden Suharto di tahun 1980-an, tidak semua kebijakan Suharto harus dibuang, yang baik tetap harus kita ambil.
2. Petani Komoditi Bahan Baku Industri. (karet, kopi, teh, tebu, cengkeh, kakao dan sebagainya). Petani golongan ini nasibnya juga tidak lebih baik dari petani komoditi pangan, karena selalu tidak pernah mendapat harga wajar di saat panen. Sebagai produsen, petani terdiri atas jutaan orang yang tidak terorganisasi, sedangkan pabrik sebagai konsumen jumlahnya sedikit, tapi kapitalisasi sangat besar. Akibatnya –sebagai contoh petani cengkeh– saat panen raya petani tidak punya posisi tawar yang kuat, harga cengkeh ditindas habis-habisan oleh pabrik rokok. Pabrik rokok tidak mau beli cengkeh, padahal petani butuh uang untuk hidup sehari-hari, sekolah anak dan kebutuhan lainnya, akhirnya harga berapa saja petani terpaksa harus jual. Kalau harga cengkeh jatuh baru pabrik rokok memborong. Solusinya: Pemerintah mendirikan Koperasi Induk Cengkeh di tingkat provinsi, kemudian dengan dana talangan membeli cengkeh petani berapapun jumlahnya dengan margin keuntungan minimal 30% dari biaya produksi. Kemudian pemerintah yang barganing dengan pabrik rokok, agar mendapatkan harga wajar. Dengan cara ini pasti pemerintah menang karena pabrik rokok paling banyak hanya punya cadangan cengkeh untuk 14 bulan. Pabrik rokok tak akan sanggup menganggung biaya overhead, operasional dan gaji buruh kalau harus berhenti berproduksi. Komoditas lain bisa juga memakai pola ini.
3. Petani Komoditi Hortikultura. (durian, lengkeng, buah naga, melon, jeruk). Belum banyak pihak yang menyadari potensi ini, yang hasilnya 3-7 kali lebih besar dibandingkan komoditi pangan dan bahan baku industri. Kami dapat mengatakan seperti itu karena kami menjalani pemberdayaan petani holtikultura. Konsumsi masyarakat kita untuk buah-buahan import sangat tinggi yaitu senilai Rp 10 trilyun/tahun (Kompas, 2007), membanjiri supermarket hingga kios buah pinggir jalan. Porsi ini yang akan kita rebut. Kalahkan buah impor! Solusinya: Apabila kita menanam buah dengan bibit, pupuk dan teknologi yang sama dengan yang diterapkan petani luar negeri, hasilnya ternyata jauh lebih baik dari buah yang dihasilkan petani luar negeri baik dari segi kualitas maupun kuantitas, karena kita mempunyai keunggulan kesuburan tanah dan iklim karunia dari Tuhan.
Yayasan Obor Tani dan PT Cengkeh Zanzibar telah berhasil mengebunkan varitas buah-buahan unggul di Indonesia dalam skala produksi besar lebih dari 250 hektar dan berhasil menyeleksi varitas-varietas yang unggulan seperti: Durian Monthong –yang ditanam di Indonesia jauh lebih berkualitas (rasa, performa, tekstur) daripada Monthong yang berasal dari Thailand, begitu juga dengan Lengkeng Itoh/Biao Khiao, Mangga Khiao Sawei/Nam Dokmai, Jeruk, Srikaya Australia, Buah Naga, Rambutan Binjai, Sawo Mega dan Kelapa Pandan Wangi. Dimana di Thailand dan Malaysia penelitian dan rekomendasi varietas unggulan yang bisa ditanam petani dilakukan oleh pemerintah. Lihat Foto: 2

Penyelesaian Masalah Irigasi
Prioritas pertanian yang harus diperkuat adalah pertanian lahan kering, sebab pertanian sawah masih tetap bisa berproduksi dengan baik dengan adanya irigasi teknis dan anggaran reguler pemrintah. Pertanian di lahan kering-lah yang harus mendapat perhatian lebih.
Secara masif pemerintah Indonesia selama lebih dari dua dekade tahun 1960-1980-an membangun sarana dan prasarana irigasi pertanian dengan membangun waduk/ bendungan-bendungan berskala besar, berikut saluran air dari mulai saluran primer hingga tersier, didukung pemenuhan tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah dan kompetensi yang cukup, dibangunkan balai benih dan pabrik pupuk yang kredibel, Kredit Usaha Tani yang nggenah, Program Intensifikasi Pertanian, Panca Usaha Tani dan pembentukan kelompok tani yang benar, membuat pada era tersebut pertanian Indonesia meraih kejayaan bahkan sempat swasembada untuk beberapa komoditas.
Kemudian korupsi yang mulai merajarela tahun 1980-an hingga saat ini, membuat hak-hak petani untuk mendapatkan air ikut terampas. Waduk-waduk raksasa (Jatiluhur, Mrica, Sempor, Karangkates, Kedungombo) awalnnya adalah realisasi ide yang luar biasa! Namun waduk beserta infrastruktur yang sudah dibangun susah payah itu, kini tak lagi terpelihara dengan baik. Kerusakan terbesar disebabkan oleh faktor fisik –retak, bocor, ambrol- dan sedimentasi, dimana endapan lumpur di waduk jauh lebih banyak dari kapasitas airnya.
Cara memecahkannya adalah dengan membangun waduk mini tadah hujan di puncak-puncak bukit dengan luas kurang lebih sama dengan lapangan sepak bola. Membangun waduk besar saat ini bukan lagi solusi yang tepat. Waduk besar butuh dana trilyunan rupiah, juga sarat dengan permasalahan ekologi-lingkungan dan sosial. Pertanyaannya seberapa besar waduk di puncak bukit dan apakah mencukupi untuk mengairi tanaman buah-buahan? Hasil perhitungan kami, pada lahan 20 hektar ditanami Lengkeng Itoh (Bangkok) dengan jarak tanam 7 x 7 m dapat memuat 4.000 pohon. Kebutuhan air untuk 5 bulan musim kemarau per pohon 1.500 liter atau 1,5 m3 dikalikan 4.000 pohon, maka dibutuhkan air sebanyak 6.000 m3. Waduk yang kita buat berukuran 40 m x 75 m dengan kedalaman 3 meter, berarti kapasitas embung 9.000 m3. Dikurangi penguapan air sebesar 20% (1.800 m3), air tersedia di waduk 7.200 m3, sangat mencukupi untuk menyiram tanaman selama 5 bulan musim kemarau.
Luas areal untuk waduk 40 m x 75 m = 3.000 m2. Ditambah luas bibir waduk, kaki waduk, jalan di bawah kaki waduk dan green belt keseluruhan luas untuk bangunan waduk adalah 7.000-7.500 m2. Jadi untuk lahan 200.000 m2 (20 hektar) diperlukan luasan tempat untuk waduk seluas 7.000 - 7.500 m2, artinya kurang dari 4 % dari keseluruhan luasan tanaman yang harus disiram.
Apakah air yang ada di dalam waduk dapat bocor (jawa:rembes) atau meresap ke dalam tanah? Tentu tidak karena waduk mini tersebut kita lapisi Geomembran, terbuat dari High Density Polythylene (HDPE) sebuah teknologi dari GSE Lining USA. Menampung air hujan dengan waduk mini sudah lama diterapkan di Australia dan Taiwan. Apabila kita melintasi dua wilayah negara tersebut dari jendela pesawat akan terlihat ratusan ribuan waduk mini. Di Indonesia teknologi geomembran ini sebelumnya sudah banyak dipakai untuk danau-danau buatan di lapangan golf dan tambak udang/bandeng. Garansi kekuatannya hingga 20 tahun. Total harga waduk mini untuk 20 hektar: pekerjaan tanah, geomembran, pavingisasi bibir waduk antara Rp 300 – 400 juta. Dengan pemasangan rumput lereng waduk dan pagar swadaya penduduk. Berapa kepala keluarga (KK) bisa dihidupi? Minimal 100 KK dengan asumsi per KK mempunyai lahan seluas 2.000m2 dengan 40 pohon Lengkeng Itoh. Pada tahun ke-3 Lengkeng mulai dibuahkan berapa penghasilan per keluarga?
Pendapatan per 2.000m2, tahun ke-3 : 40 phn x 15 kg x Rp. 10.000,- = Rp. 6.000.000,- /th.
Pendapatan per 2.000m2, tahun ke-4 : 40 phn x 30 kg x Rp. 10.000,- = Rp. 12.000.000,- /th.
Pendapatan per 2.000m2, tahun ke-5 : 40 phn x 70 kg x Rp. 10.000,- = Rp. 28.000.000,- /th.
Pendapatan per 2.000m2, tahun ke-6 : 40 phn x 100 kg x Rp. 10.000,- = Rp. 40.000.000,- /th.
Lengkeng Itoh adalah lengkeng unggul berproduktivitas tinggi yang menjadi motor utama produksi lengkeng di Thailand, Malaysia dan China.
Inilah yang dinamakan membalik main-set dari rakyat itu pasti miskin diubah menjadi Rakyat Harus Kaya. Di mana pada tiap lahan seluas 2.000 m2, pada tahun ke-4 dapat memberikan penghasilan minimal Rp. 1 juta per keluarga. Apakah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bisa?
Penyebarannya pun akan sangat cepat karena setelah 100 KK pertama terlihat berhasil maka pohon lengkeng tersebut dapat dicangkok atau diokulasi, kemudian bibitnya disebarkan ke seluruh penduduk desa. Sehingga paradigma One Village One Product (OVOP) dapat tercapai, setelah kualitas dan dan kuantitas terpenuhi maka perdagangan akan berjalan dengan sendirinya dan dengan lancarnya. Ini baru contoh satu varitas buah unggul Lengkeng Itoh, belum Srikaya Grand Anona, Durian Monthong, Durian Kan Yao, Mangga Nam Dokmai, Manggis. Paling tidak ada 12 jenis tanaman buah unggul dengan 72 vatietas yang sudah teruji berhasil ditanam di Indonesia. Kita harus yakin bahwa semua buah impor bisa ditanam dengan lebih baik di Indonesia, tak hanya buah tropis tapi buah sub-tropis seperti: Pear, Apel Fuji, Anggur, Leci dengan penelitian dan adaptasi pasti dapat ditanam di Indonesia. Lihat Foto: 3

Pada tahun 2008 ini Yayasan Obor Tani, dengan dana Rp 1 milyar hasil urunan 10 pengusaha antara lain: Harjanto Halim-Marimas, Hari Budianto-Nutrifood, Budi Dharmawan-Cengkeh Zanzibar, Lisa Tirto Utomo-Aqua, Harsono Enggalhardjo, Iwan Arman-Laksana, Royanto Rizal-NRC, sudah mendirikan Sentra Pemberdayaan Tani (SPT) di 1 desa di Desa Genting, Kec. Jambu, Kab. Semarang. Desa tersebut kini sudah dibangunkan waduk mini dan kebun Lengkeng Itoh seluas 21,7 hektar. Kebun dikelola oleh Yayasan Obor Tani dalam selama 3 tahun hingga bisa berproduksi, untuk selanjutnya dihibahkan kepada 126 kepala keluarga di Desa Genting.
Tahun 2009 target Yayasan Obor Tani, bisa membangun Sentra Pemberdayaan Tani di 5 desa miskin dan tandus di Jawa Tengah, yaitu satu desa di Wonokerto Kec. Bancak-Kab. Semarang, satu desa di Kec. Musuk-Bololali, satu desa di Kab. Kebumen (akan dibantu Ibu Wagub. Hj. Dra. Rustriningsih, MSi., sebuah desa di Rembang/Blora dan satu desa lagi di eks karesidenan Pekalongan (Pekalongan-Tegal-Pemalang).
Jika ingin mengunjungi kebun contoh aneka buah tropis yang sudah berproduksi stabil dapat berkunjung ke Plantera Kebun Ngebruk seluas 234 hektar, milik PT. Cengkeh Zanzibar di Ds. Sidokumpul, Kec. Patean, Kab. Kendal.
Untuk melaksanakan semua itu tidak bisa mengandalkan pemerintah dan instansinya apabila jalur birokrasi pemerintahan masih seperti saat ini. Karena Pegawai Negeri Sipil (PNS) pemerintah dan dinas terkait masalah pertanian belum bisa bekerja dengan efektif dan efisien. Mereka terlalu tambun, lamban, miskin kreativitas dan dedikasi kepada rakyat. Waktunya habis untuk kerja-kerja formalitas administrasi yang tidak berorientasi pada keberhasilan setiap kegiatan. Para pembaca pasti keki, kalau masuk ke ruang kerja para PNS karena yang dibicarakan adalah dokumen harus rangkap berapa? Ditanda tangai siapa saja? Rekanan mana yang harus dikasih proyek? Harus ndereke penggede siapa dalam acara apa? Dengan ritme kerja yang lamban dan camuk-camuk makan makanan kecil di meja kerja. Memang tidak semua PNS begitu, ada yang sudah memikirkan dan melaksanakan hasil dan manfaat kegiatan mereka untuk masyarakat, tapi ya mayoritas 90% masih saja begitu.
Bisa terlaksana kalau Gubernur Jateng, Bibit Waluyo, konsisten dengan program Mbangun Deso, mengadakan revolusi birokrasi dan mengefektifkan sistem anggaran. Tapi apakah bisa Bibit Waluyo menggerakkan mesin PNS dan birokrasi yang sudah berpuluh-tahun berjalan seperti itu? Apakah Bibit Waluyo bersama DPRD bisa mengefektifkan sistem anggaran yang cerdas seperti Bupati Sragen? Tidak ada yang tidak mungkin, tapi akan bertambah sulit apabila staf ahli gubernur masih ada yang nyambi jadi calo proyek.
Salah satunya jalan adalah menghimpun Corporate Social Responbillity (CSR) dari para pengusaha, karena para pemilik perusahaan tersebut juga memerlukan saluran pengelolaan CSR oleh lembaga yang tepat dan terpercaya. Cara berikutnya adalah dengan menganggarkan dalam APBD/APBN dengan meyakinkan DPR/DPRD. Cara lainnya dengan mencari dana hibah internasional yang lebih mudah apabila dilakukan dengan pendekatan antar pemerintah (G to G).
Akhir kata ada 5 hal yang mutlak harus diberikan untuk menyejahterakan petani yaitu: (1) WADUK MINI di puncak bukit-bukit kering; (2) PENGETAHUAN & TEKNOLOGI tentang jenis tanaman yang layak ditanam; (3) SENTRA DIKLAT bagi Petani; (4) PENYULUH PERTANIAN yang kompeten & militan; (5) BIBIT, PUPUK & OBAT TANAMAN, yang terjamin mutunya. Lima hal tersebut telah terdapat di dalam Sentra Pemberdayaan Tani, Yayasan Obor Tani.

*) Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Teknologi Pangan Unika Sogidjapranata, bekerja sebagai
Sekretaris Eksekutif Yayasan Obor Tani

Catatan pustaka :
1) Kwik Kian Gie, dalam acara peluncuran buku “Membangun Kemandirian Pangan” diselenggarakan HKTI, di Jakarta, 4 Agustus 2004.
2) Budi Dharmawan, dalam “Pokok-pokok Pemikiran Budi Dharmawan” dipaparkan dalam Penggemblengan Kader pada ulang tahun ke-2 , Yayasan Obor Tani di Semarang, 17 Januari 2008.

4 komentar:

  1. Pesan : Perlu di buat kelompok petani akademis, Budidaya berbasis data, dan Komitmen Bersyarat.
    Komentar : tulisan ini menginspirasi,

    BalasHapus
  2. Aku dari Purbalingga di 085227629899, untuk petani yang lebih bermartabat dan agar tanah tidak kurang martabatnya, mbok jangan suka pake pestisida. Jadi konsep dan aksinya bersahabat dengan alam. Kami punya urine kelinci dalam jumlah besar hasil kelompok peternak kelinci di desa kami, bila berniat, kami siap memasok. untuk obortani yang sangat peduli dengan petani, silakan ambil gratis di tempat kami, mbok mau untuk uji coba atau bahan penelitian. salut buat obor tani !!!!!

    BalasHapus
  3. Terimakasih Mas Budi, Maju Terus!!!

    BalasHapus
  4. pak saya mau bertanya, bagaimana caranya untuk membuat paguyuban tani di desa?, terima kasih.

    BalasHapus